1 Korintus 7:1-16: Tentang Perkawinan
Rabu, September 16, 2020
Edit
Klik:
1 Corinthians / 1 Korintus 7:1-16
1Co 7:1 Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin,
1Co 7:2 tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.
1Co 7:3 Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya.
1Co 7:4 Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya.
1Co 7:5 Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.
1Co 7:6 Hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah.
1Co 7:7 Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu.
1Co 7:8 Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku.
1Co 7:9 Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu.
1Co 7:10 Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi Tuhan--perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
1Co 7:11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
1Co 7:12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
1Co 7:13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
1Co 7:14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.
1Co 7:15 Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
1Co 7:16 Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?
Tafsiran Wycliffe
Nasihat Mengenai Pernikahan (7:1-40).
Sesudah membahas hal-hal yang diketahui olehnya melalui laporan (bdg. 1:11, 5:1), sang rasul sekarang beralih kepada berbagai persoalan yang muncul di dalam surat yang ditulis kepadanya (bdg. 7:1; lihat Pendahuluan Surat 1 Korintus).
Persoalan pernikahan dibahas terlebih dahulu.
Pasal ini, yang diawali dengan sebuah prolog yang membicarakan beberapa prinsip umum (ay. 1-7), berisi pembahasan tentang masalah-masalah orang yang menikah (ay. 8-24), dan yang tidak menikah (ay. 25-40).
Prolog (7:1-7).
Sang rasul mengemukakan prinsip umum, bahwa walaupun membujang merupakan masalah pilihan pribadi (ay. 6-7), pernikahan adalah wajib untuk orang-orang yang tidak memiliki karunia bertarak (ay. 1-2), suatu pernikahan yang sungguh-sungguh dengan penyediaan kebutuhan seksual yang memadai bagi masing-masing pasangan (ay. 3-5).
1. Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Sama dengan bentuk modern, mengenai surat Saudara.
Mungkin, Paulus telah diminta untuk membenarkan hal membujang sebagai kewajiban bagi semua orang.
Dia mengakui, bahwa membujang adalah baik.
2. Sekalipun demikian, pernikahan merupakan kewajiban bagi orang-orang yang tidak kuat terhadap pengaruh dan kebiasaan masyarakat sekitar yang jahat waktu itu.
Ini bukan memandang rendah pernikahan, melainkan dengan jujur menghadapi kenyataan mengingat bahaya percabulan.
Secara harfiah, kata percabulan, yang dipakai dalam bentuk jamak mungkin mengacu kepada banyaknya kasus yang terjadi di Korintus (bdg. 6:12-20).
3-5. Akan tetapi, pernikahan yang sungguh-sungguh adalah suatu kemitraan, yaitu persatuan dua orang yang menjadi "satu daging" (6:16), dan meliputi kewajiban serta hak bersama dalam pernikahan.
6-7. Kata-kata sebelumnya diucapkan sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah.
Pernikahan merupakan sesuatu yang diperbolehkan, bukan sesuatu yang diwajibkan.
Pimpinan Tuhan, karunia seseorang dari Allah, adalah hal yang harus diutamakan (bdg. Mat. 19:10-12).
Masalah-masalah Pernikahan (7:8-38).
Penulis sekarang khusus membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan orang yang menikah dan orang yang tidak menikah.
8-9. Yang pertama dibahas adalah orang-orang yang tidak menikah pada masa Paulus menulis surat ini, tetapi yang memiliki pengalaman seksual.
Yang tidak kawin, mungkin para janda dan duda, disebutkan tersendiri dari janda-janda.
Orang lelaki dan perawan yang tidak menikah, dibahas di tempat lain (ay. 1, 2, 25, 28-38).
Tinggal (bentuk waktu aoris), berarti keputusan final dan seumur hidup.
10-11. Nasihat Paulus selanjutnya menyangkut pemeliharaan atau pemutusan ikatan pernikahan, di dalam pernikahan antar orang percaya (ay. 10-11) dan pernikahan campuran (ay. 2-16).
Bagi orang-orang percaya peraturannya adalah, tidak boleh cerai, yang didukung oleh sudut pandang Tuhan, bukan aku, tetapi Tuhan (bdg Mrk. 10:11-12).
Jika terjadi perceraian yang tidak dibenarkan, Paulus mengemukakan dua kemungkinan.
Pihak istri harus tetap hidup tanpa suami, bentuk waktu sekarang, menekankan keadaan yang tetap.
Atau, dia dapat berdamai dengan suaminya, bentuk waktu aoris, menekankan peristiwa sekali untuk selamanya, tanpa ada perceraian lagi sesudahnya.
12. Bagaimana dengan pernikahan di mana salah satu pihak adalah Kristen?
Hukum Yahudi mengharuskan penyingkiran orang yang tidak percaya (bdg. Ezr. 9:1-10:44).
Kembali peraturannya adalah tidak boleh cerai (I Kor. 7:12, 13).
14. Karena. Alasan yang pertama ialah karena suami atau istri yang tidak percaya dan anak-anak dari pernikahan campuran itu dikuduskan.
Ini tidak berarti bahwa seorang anak yang lahir dalam keluarga di mana hanya salah satu orang tua saja yang percaya, dilahirkan "menjadi anggota keluarga Kristus" (Barclay, op.cit, hlm. 71).
Paulus hanya bermaksud mengatakan, bahwa prinsip Perjanjian Lama mengenai pemindahan kenajisan tidak berlaku (bdg. Hag. 2:11-13).
Persatuan itu sah dan memberikan hak-hak istimewa kepada anggota-anggotanya (ICC, hlm. 142), yaitu hak atas perlindungan Allah dan kesempatan untuk berhubungan erat dengan salah satu anggota keluarga Allah.
Hal ini bisa melapangkan jalan menuju ke pertobatan bagi orang yang belum percaya itu.
15. Alasan kedua untuk tetap mempertahankan ikatan, terdapat dalam kenyataan, bahwa Allah telah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
Bagaimanapun juga, terdapat sebuah situasi yang cukup membingungkan.
Beberapa penafsir beranggapan, bahwa di sini, Paulus mendorong orang percaya untuk mengizinkan terjadinya perceraian dengan tujuan tetap memelihara keadaan damai, apabila pihak yang tidak percaya menginginkan perpisahan.
Jika tidak, bisa terjadi perang.
Dalam pada itu, Paulus mungkin berpikir, bahwa perceraian hendaknya dicegah, jika dimungkinkan, sebab hal itu akan merusak kesejahteraan ikatan pernikahan.
Prinsip yang umum dari konteks (ay. 10-11) mendukung pandangan kedua, sebagaimana juga ayat berikutnya.
Sama sekali tidak disebutkan tentang pernikahan kedua bagi si orang percaya: adalah sia-sia untuk membuat Paulus mengatakan sesuatu padahal ia diam saja.
Memang benar, bahwa kata kerja "meninggalkan" nyaris merupakan istilah teknis bagi perceraian di dalam gulungan papiri (MM, hlm. 695, 696).
16. Sebab. Alasan ketiga untuk tidak boleh bercerai ialah karena keselamatan pihak yang satunya itu mungkin dapat dicapai dengan mempertahankan ikatan pernikahan.
Para penafsir lainnya memahami pernyataan ini sebagai berarti perceraian itu harus disetujui dengan sukarela, sebab kita tidak pernah bisa tahu pihak yang belum percaya itu akan menjadi percaya atau tidak.
Konteks umumnya mendukung pandangan pertama.
Tetapi, tidak mudah untuk menentukan apa yang dimaksudkan oleh Paulus.
Sumber ayat Alkitab / tafsiran: Software e-sword dan Alkitab.sabda.org.