Ibrani 1:1-4 Allah Berfirman Dengan Perantaraan Anak-Nya | Garis Besar dan Pendahuluan

Klik:

Hebrews / Ibrani 1:1-4

Heb 1:1 Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,

Heb 1:2 maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.

Heb 1:3 Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi,

Heb 1:4 jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat, sama seperti nama yang dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah dari pada nama mereka.

Tafsiran Wycliffe

Pendahuluan (1:1-4).

Penulis melanggar bentuk penulisan surat yang biasanya dihubungkan dengan Surat-surat Perjanjian Baru, dengan tidak memberikan salam atau kalimat-kalimat pembukaan berupa salam dan pendahuluan (lihat bagian Pendahuluan).

Dia langsung kepada pokok pembahasannya, yaitu Pribadi dan karya Tuhan Yesus Kristus di dalam hubungan dengan sistem Imamat dan Perjanjian Yang Lama.

Kristus Lebih Tinggi dari Para Nabi (1:1-2).

Pertanyaan tersirat yang dibahas di sini ialah: Siapakah juru bicara yang terakhir dan yang paling berwewenang untuk Allah?

1. Berulang kali (polymeros), atau bagian demi bagian, dan dalam pelbagai cara (polytropos), atau dalam banyak dan berbagai cara, Allah (Jehovah) berbicara pada zaman Perjanjian Lama melalui nabi-nabi, yang banyak di antaranya mengisahkan di dalam tulisan mereka tentang cara bagaimana Dia berbicara dengan mereka.

Prophetais adalah sebuah istilah universal untuk semua orang yang dipakai Allah pada zaman Perjanjian Lama.

2. Pada zaman akhir, ini merupakan terjemahan harfiah dari sebuah ungkapan Ibrani yang umum yang terdapat di Bilangan 24:14, mengandung nada-nada tambahan yang bersifat Mesianis.

Allah telah berbicara kepada kita melalui seorang yang memiliki hubungan sebagai Anak, sehingga memiliki wewenang penuh sebagai juru bicara.

Di dalam hubungan ini, Kristus bersifat unik dan di sini dijelaskan demikian dalam pengertian klasik, sebagai ditetapkan oleh Allah karena Ia adalah Anak.

Dia adalah ahli waris dan juga Pelaku penciptaan.

Alam semesta. Bahasa Yunaninya ialah aiones, "zaman" termasuk alam ruang (bdg. 11:3).

3. Cahaya kemuliaan. Pemancaran diri Allah sendiri ke dunia dalam Yesus Kristus.

Dia adalah wujud hakiki Allah.

Demikian pula, gambar wujud, dipakai untuk menunjuk kepada kenyataan yang sama, seperti di Matius 22:20, di mana kata ini mengacu kepada gambar pada uang logam Romawi.

Kristus merupakan stempel atau cetakan (charakter) Allah; hakikat Allah. Seluruh kekuatan dari dua anak kalimat pada ayat ini, menekankan konsep yang satu ini.

Dia juga merupakan Pencipta, baik sebagai "Sabda yang mencipta" (CGT, hlm. 31) maupun sebagai Penopang, yaitu yang menopang segala yang ada.

Penciptaan dan pemeliharaannya adalah oleh Allah di dalam Yesus Kristus, dan firman-Nya yang penuh kekuasaan.

Sabda dari Sang Putra ialah kuasa untuk memelihara dan menopang, namun kuasa yang mencipta ini mengubah diri-Nya untuk melaksanakan pelayanan yang lebih besar, yaitu pelayanan penebusan.

Di dalam melaksanakan pengudusan, atau penyucian dosa, Kristus membersihkan tumpukan dosa-dosa dan kenajisan seluruh dunia dengan disaksikan Allah.

Di dalam Kristus, hukuman dosa kita sudah dihapuskan sepenuhnya dan penyucian disediakan.

Pengertian ini dijumpai di dalam nyanyian pujian Cowper: Terdapat pancuran yang memancurkan darah, Yang diambil dari nadi-nadi Immanuel; Dan orang berdosa yang berendam di dalamnya, Akan kehilangan semua noda dosa mereka.

Dengan memiliki kuasa dan kewenangan sebagai Khalik dan pemikul dosa ini, Kristus menduduki tempat terhormat di sebelah kanan Allah.

Selaku Imam Besar dan pemikul dosa, Dia dapat memberikan penebusan yang sempurna.

Karya-Nya sudah selesai, dan karena itu Dia dapat duduk.

Selaku Anak Manusia, Dia menduduki tempat ini melalui tindakan Allah Bapa.

Ini bukan tempat untuk beristirahat, tetapi tempat kegiatan bagi perantara ilahi, Imam Besar dan juru syafaat.

Selaku penggenapan dari Mazmur 110:1, Dia adalah Tuhan atas semuanya.

4. Kontras pertama yang menunjukkan keunggulan Kristus kini diperkenalkan.

Ide tentang kontras dengan pengertian jauh lebih tinggi (kreiton, "unggul", "menjadi yang unggul") dipakai tiga belas kali.

Malaikat penting karena bertugas menyampaikan amanat Allah kepada manusia.

Mulai dari pemberian Hukum Taurat di Sinai hingga bantuan yang diberikan kepada Daniel dan para nabi yang kemudian, para utusan Allah ini melayani Allah, tetapi selaku bawahan-Nya.

Kristus lebih tinggi dari malaikat dalam hal pribadi, nama, fungsi, kuasa dan martabat-Nya.

Mengenai Nama-Nya, hanya Dia yang dapat menyelamatkan orang yang terhilang (Kis. 4:12), dan Nama-Nya merupakan Nama di atas segala nama (Flp. 2:10).

Oleh Nama itu reputasi-Nya ditetapkan, sebab Nama-Nya adalah Nama yang perkasa.

Pendahuluan Kitab Ibrani

Pernyataan Pendahuluan.

Orang yang mempelajari Surat ini, harus memahami keunikannya.

Tidak ada Kitab Perjanjian Baru yang sama dengan Surat ini, dan karena itu, Surat ini memiliki persoalan-persoalan yang khas.

Dalam bentuk susunan, gaya penulisan, cara mengemukakan alasan dan hubungan dengan Kitab lain di dalam Alkitab, Surat Ibrani mempunyai bentuk tersendiri.

Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh kontroversi.

Kitab ini pernah diabaikan, dipersoalkan kewenangannya, dipermasalahkan kanonitasnya, dan diselidiki tanpa belas kasihan untuk menentukan penulisnya.

Akhir-akhir ini, analisis yang kritis telah mempertanyakan tentang bagian-bagian tertentu dari Surat ini, khususnya pasal 13.

Sekarang sedang diteliti, apakah pasal ini ditambahkan secara keseluruhan, atau secara sebagian-sebagian, atau apakah Surat ini merupakan bagian dari Surat yang asli.

Perhatian yang meningkat terhadap masa Helenistis dalam hubungannya dengan sejarah peradaban umat manusia, juga telah mempengaruhi penelitian Surat Ibrani ini.

Beberapa rahasia yang terdapat di dalam Surat ini sekarang diperhadapkan dengan kebudayaan Helenistis dari dunia Mediterania Timur pasca masa Alexander.

Beberapa pakar beranggapan, bahwa orang-orang kepada siapa Surat ini ditulis secara langsung sudah terpengaruh oleh kebudayaan Helenistis dan mungkin benar-benar menjadi dikuasai oleh budaya Helenis.

Pandangan semacam ini cenderung menunjukkan kemungkinan ada revisi terhadap pandangan yang lama tentang para penerima Surat serta maksud penulisannya.

Konon, Surat Ibrani ini merupakan Surat di dalam Perjanjian Baru yang paling sedikit diketahui.

Pemberian alasan yang teliti, peristilahan untuk imam dan persembahan kurban, dan idealisme yang menguasai penulisnya telah dikemukakan sebagai alasan (Purdy and Cotton, Epsitle to the Hebrews, vol XI. IB).

Mungkin ini memang benar, tetapi ada satu hal yang tampaknya lebih pasti.

Surat ini dapat dipahami secara paling baik, apabila kelima Kitab Musa dikenal dengan baik sebagai dasar.

Pemberian alasan yang teliti dari sistem berdasarkan Kitab Imamat menghubungkan Pentateukh dengan surat Ibrani.

Masalah-masalah yang terdapat di dalam Kitab ini memang menantang.

Singkatnya, masalah-masalah tersebut menyangkut kepenulisannya, para pembacanya, tempat tujuan pengiriman Surat, tanggal penulisan Surat, alasan penulisan, dan hubungannya dengan Kekristenan abad pertama, Yudaisme dan kebudayaan Helenistis.

Alasan Penulisan Surat ini.

Rumusan klasik mengenai alasan Surat ini ditulis adalah sebagai berikut.

Orang-orang Kristen Yahudi, apakah hanya satu jemaat ataukah dalam jumlah yang lebih banyak dan tersebar secara geografis, berada dalam bahaya akan meninggalkan Kristus dan kembali ke Musa.

Kemurtadan ini merupakan bahaya yang sudah dekat (2:1) dan berlandaskan pada ketidakpercayaan (3:12).

Perilaku mengisyaratkan adanya kemungkinan tersebut (5:13, 14).

Mengabaikan ibadah umum (10:25), kelemahan di dalam berdoa (12:12), ketidakmantapan tertentu di dalam melaksanakan doktrin (13:9), penolakan untuk mengajar orang lain sebagaimana seharusnya dilakukan orang yang sudah dewasa imannya (5:12), dan mengabaikan Alkitab (2:1) merupakan gejala-gejala lainnya dari kelemahan rohani.

Bahayanya adalah, bahwa orang-orang yang merupakan saudara-saudara yang kudus, yang mendapat bagian dalam panggilan surgawi (3:1), bisa "murtad lagi" (6:6), atau "murtad dari Allah yang hidup" (3:12).

Untuk mencegah perkembangan ke arah itu, penulis Surat Ibrani menekankan keunggulan Kristus di dalam serangkaian kontras dengan para malaikat, Musa, Harun, Melkizedek, dan sistem dari Kitab Imamat.

Tujuan dari semua kontras tersebut, ialah menunjukkan keunggulan Kristus dari Yudaisme.

Pada saat sang penulis Surat mengembangkan pikirannya, dia menjalin tiga buah konsep.

Konsep yang pertama ialah nasihat (13:22); yang kedua ialah rangkaian lima buah peringatan (2:1-4; 3:7-19; 6:4-12; 10:26-31; 12:15-17); dan yang ketiga ialah penghiburan atau pemberian kepastian, yang dikemukakan sekitar sebuah pemikiran yang diperkenalkan dalam istilah "pandanglah" (3:1) dan mencapai puncaknya dalam istilah "ingatlah selalu akan Dia yang tekun ... " (12:3).

Berdasarkan konsep-konsep inilah, penulis Ibrani menentang kecenderungan ke arah kemurtadan.

Alur pemikiran yang dikembangkan oleh para pembaca (pendengar) sangat menarik.

Apabila mengikut Kristus mengakibatkan seseorang dianiaya, hal mana tidak terjadi apabila mengikuti kebiasaan Yahudi tradisional, mengapa tidak kembali ke Yudaisme saja, dengan demikian orang tetap menganut agama tertentu dan pada saat yang sama bebas dari penganiayaan?

Jelas pilihan semacam ini menarik.

Jawaban terhadap pilihan tersebut dikemukakan di dalam Surat Ibrani ini, yaitu dengan memperhadapkan keunggulan Kristus dengan setiap kelemahan dalam Yudaisme.

Akhir-akhir ini, pandangan klasik mengenai alasan Surat ini ditulis, dipertanyakan.

Alexander C. Purdy, di dalam ulasan pendahuluannya untuk Opistle to the Hebrews (IB. XI. 591, 592), mengemukakan bahwa pandangan tradisional ini hanya sekedar dugaan saja. Ia mengemukakan sembilan alasan yang menentang pandangan tradisional lalu menulis: "Sebagaimana adanya ketika itu, Surat Ibrani merupakan sebuah penjelasan tentang keyakinan tertinggi Agama Kristen yang berlandaskan pada gambaran pendahuluan yang sah dalam Perjanjian Lama tentang penetapan persembahan kurban yang sangat perlu untuk dapat menghampiri Allah, sekarang sudah nyata bagi semua orang Yahudi dan bukan Yahudi, di dalam pengorbanan Kristus."

Keyahudian yang kental dari Surat Ibrani ini, menurut Purdy, lebih disebabkan oleh bentuknya dan bukan oleh isi amanatnya.

Purdy kemudian mengemukakan, bahwa penulis Surat Ibrani ini sedang memerangi sebuah bentuk Gnostik dan Helenisme Yahudi-Kristen dan bukan Yudaisme itu sendiri, tetapi dia mengakui, bahwa pandangannya ini baru bersifat hipotetis saja.

Apabila kita menyetujui pandangan Purdy, bahwa penulis Surat ini sedang memerangi Gnostik Yahudi-Kristen yang berintikan kebudayaan Helenistis, kita tetap perlu menghadapi kenyataan, bahwa tema utama dari Kitab ini mempunyai karakter dan uraian yang bersifat Yahudi.

Sesungguhnya, Surat Ibrani mempersatukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di dalam pribadi dan karya Yesus Kristus.

Surat Ibrani ini dapat dianggap sebagai perluasan selanjutnya dari Yohanes 17, karena menghubungkan doa Imam Besar dengan pelayanan Kristus sebagai Imam Besar.

Sebagaimana doa dalam Yohanes 17 mencatat permohonan Tuhan kita agar orang-orang percaya aktif di dalam dunia, di dalam doa tersebut juga terungkap permohonan ... supaya Engkau melindungi mereka dari yang jahat (Yoh. 17:15).

Surat Ibrani memberitahukan cara perlindungan tersebut dilaksanakan, di bawah tekanan penganiayaan dan godaan untuk murtad.

Untuk memberikan semangat agar perlindungan tersebut dimanfaatkan, penulis Surat ini menyeimbangkan pembahasan yang bersifat doktrinal dengan pemberian nasihat, yang bersifat pastoral dan yang bersifat praktis, pemberian penghiburan dengan pemberian nasihat.

Yudaisme, sebuah "tempat perlindungan menarik" bagi orang-orang Kristen Yahudi yang sedang dianiaya, karena itu ditentang dengan cara membeberkan perbedaannya dengan Kristen.

Sang penulis bertekad untuk menolong orang-orang percaya mula-mula ini, mengadakan pemilihan bermodalkan pengetahuan mengenai perbedaan antara Yudaisme dengan karya Kristus bagi dan di dalam diri orang percaya.

Semua ini dirancang untuk meyakinkan orang yang sedang mengalami cobaan itu mengenai keunggulan Yesus Kristus.

Pada saat yang sama, Surat yang dimaksudkan untuk memberikan semangat kepada orang-orang percaya abad pertama ini juga mengandung manfaat bagi kita.

Surat lainnya di dalam Perjanjian Baru tidak ada yang sejelas ini menjawab soal "mengapa" ada pengorbanan Kristus itu dan ada penebusan yang tersedia melalui pengorbanan ini.

Tidak ada Surat lain dalam Perjanjian Baru yang dengan demikian jelas menghubungkan pelayanan ganda Kristus selaku Anak Allah yang kekal dan selaku Anak Manusia yang menderita.

Dosa, kesalahan, pendamaian, dan pengampunan dosa, dapat dipahami secara lebih lengkap melalui Surat Ibrani ini.

Kitab ini juga membantu kita memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik mengenai sejumlah kebenaran atau peristiwa dalam Perjanjian Lama.

Juga perbedaan antara Yudaisme dengan Kekristenan menjadi jelas melalui pengajaran dari Surat Ibrani ini.

Johannes Schneider menulis: "Surat Ibrani sangat seadanya dalam menilai kehidupan nyata dari jemaat-jemaat. Penulisnya memahami berbagai bahaya yang mengancam umat Allah di atas muka bumi ini. Oleh karena itu, Surat ini menasihatkan untuk berpegang teguh pada iman dan jangan tidak setia kepada Kristus" (The Letter to the Hebrews, hlm. 8).

Dengan penekanannya pada pelayanan imamat Kristus, dan sejumlah keuntungan yang dimiliki orang percaya di dalam Kristus, serta nasihatnya yang kuat untuk mengembangkan iman yang kokoh, Surat Ibrani, dewasa ini tetap relevan.

Tanggal dan Tujuan Penulisan Surat Ini.

Berbagai faktor ikut menentukan tanggal Surat ini ditulis.

Yang terpenting di antara semua faktor tersebut, tampaknya ialah pertikaian Yahudi-Romawi yang terjadi sesudah tahun 68 M, serta dihancurkannya Bait Allah pada tahun 70 M.

Memang pertikaian, Bait Allah dan dihancurkannya Yerusalem tidak disebut di dalam surat ini.

Oleh karena itu, muncul dugaan, bahwa Surat ini ditulis sebelum tahun 68 M, atau sesudah tahun 80 M.

Tanggal yang lebih awal, rupanya lebih tepat, tetapi harus dilihat dalam kaitan dengan disebutnya Timotius (13:23) dan "saudara-saudara di Itali" (13:24).

Juga pengetahuan tentang adanya Surat ini di dalam surat Clemens dari Roma kepada jemaat di Korintus (tahun 95 M), memainkan peranan tertentu di dalam menentukan tanggal penulisan Surat ini, dan mungkin juga tentang kepada siapa Surat ini ditujukan.

Alasan yang mendukung tanggal yang belakangan untuk penulisan Surat Ibrani ini, dikemukakan secara paling baik dalam IB, Introduction, XI halaman 593, 594.

Dengan memadukan berbagai alasan rasional dan memanfaatkan surat I Clements sebagai titik acuan, IB mengusulkan sebuah tanggal di sekitar akhir tahun tujuh puluhan dan awal tahun sembilan puluhan, namun kemudian berkesimpulan, bahwa tanggal sesungguhnya tidak jelas.

Sebaliknya, Canon Farrar, Cambridge Greek Testament (sesudah ini disingkat CGT), mewakili berbagai pandangan abad kesembilan belas, dan Gleason L. Archer di dalam bukunya The Epistle to the Hebrews: A Study Manual, dua-duanya mengusulkan tanggal penulisan di antara tahun 64 M dan 68 M.

Archer kemudian mempersempit lagi jangka ini menjadi tahun 65 atau 66 M sebagai tahun yang paling masuk akal, sesuai dengan bukti-bukti dari dalam dan dari luar Surat.

Semua pandangan yang dikemukakan mengenai tanggal penulisan, menekankan pentingnya soal tidak tercantumnya dalam Surat tersebut rangkaian peristiwa yang terjadi di Yerusalem pada dasawarsa keenam abad pertama.

Mengenai tujuan penulisan, terdapat tiga buah teori utama yang berlaku, masing-masing menunjuk kepada sebuah kota besar di dunia Romawi dan Mediterania.

Ada yang mengemukakan pandangan keempat yang sebenarnya merupakan modifikasi dari salah satu teori utama.

(1) Surat ini ditujukan kepada orang-orang Kristen Yahudi yang tinggal di Yerusalem dan sekitarnya.

(2) Surat ini ditujukan kepada orang-orang Kristen Yahudi yang tinggal di Aleksandria. Pandangan ini cenderung dianut oleh mereka yang mendukung anggapan adanya warna Aleksandria yang kuat di dalam surat ini.

(3) Surat ini ditujukan bagi sebuah jemaat Kristen Yahudi yang beribadah di Roma dan berada dalam pencobaan dan penganiayaan yang berat. Pandangan "jemaat di Roma" juga cenderung menganut teori "satu jemaat", yakni bahwa para penerima pertama Surat ini adalah sebuah jemaat kecil, atau suatu "persekutuan rumah tangga" di Roma.

(4) Sebuah modifikasi dari (3). Jemaat yang dituju oleh surat Ibrani merupakan jemaat yang kecil, tetapi mereka bisa berada di mana saja di wilayah kerajaan Romawi, dan tidak harus di Roma.

Alasan-alasan yang kuat telah dikemukakan untuk semua pandangan tersebut; semuanya juga sarat dengan persoalan.

Bukti dari dalam Surat ini sendiri hampir tidak membantu dalam memecahkan persoalan-persoalan di antara berbagai teori itu.

Secara tersirat, ada disebut Yerusalem (13:12) dengan cara yang pasti dipahami oleh semua orang Yahudi.

Penyebutan Italia (13:24) bersifat umum, sehingga nyaris tidak membantu dalam menentukan tujuan semula Surat ini.

Namun ada satu hal yang jelas. Orang-orang kepada siapa Surat ini dituju, dikenal sebagai orang Ibrani dan mengaku Kristen.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Downer, yang kelihatan ialah orang Ibrani dan sudut pandang Ibrani yang berlaku (Arthur Cleveland Downer, The Principles of Interpretation of the Epistle to the Hebrews, hlm. 8).

Orang-orang Kristen Ibrani ini telah menderita kerugian, mereka diejek, banyak mengalami pencobaan, kehilangan hak istimewa, dianiaya, dicemooh dan dibenci secara terbuka oleh sesama orang Yahudi.

Namun, keadaan semacam ini bisa terjadi di mana saja di seluruh wilayah Romawi pada abad pertama.

Kenyataannya ialah, bahwa semua teori yang dikemukakan memiliki unsur mungkin dan tidak mungkin yang sama besarnya.

Pembahasan mengenai masalah tujuan dari Surat ini, dapat diperiksa secara panjang lebar dalam karya Farrar, CGT; A. B. Davidson, The Epistle to the Hebrews,, Archer, The Epistle to the Hebrews: A Study Manual; William Manson, The Epistle to the Hebrews, An Historical and Theological Reinterpretation; dan IB, XI.

Mengenai pandangan yang sekarang, teori "Yerusalem" dikemukakan secara paling baik oleh William Leonard, Authorship of the Epistle to the Hebrews: Critical Problem and Use of the Old Testament.

Teori "Roma" dan "satu jemaat" dipertahankan secara paling baik oleh William Manson (op.cit.), yang menunjukkan, bahwa arsip surat sebuah jemaat di Roma yang mula-mula menyimpan surat yang berisi nasihat dan peringatan ini. Namun, pernyataan ini pun merupakan dugaan saja.

Kepenulisan.

Siapa penulis Surat Ibrani, tetap merupakan masalah terbesar bagi mereka yang mempelajari Kitab ini.

Penulis-penulis yang ditunjukkan jumlahnya banyak, demikian pula pandangan yang mendukung setiap pendapat itu.

Rasul Paulus, Apolos, Barnabas, Lukas, Timotius, Akwila dan Priskilla, Silas, Ariston dan Filipus sang diaken, semuanya pernah ditunjuk sebagai penulis, lengkap dengan alasan-alasan pendukungnya.

Penelitian terhadap tradisi dari Gereja Mula-mula dan dari para Bapa Gereja, baik Timur maupun Barat, hanya membuktikan, bahwa ada aneka ragam pandangan.

Surat ini sendiri tidak menyebutkan, atau bahkan menyinggung secara tersirat sekalipun siapa yang menulisnya.

Terdapat dua pandangan utama yang paling menonjol dalam menetapkan penulis Surat ini.

(1) Bahwa Pauluslah penulis surat ini.

Alasan yang diajukan untuk mendukung pandangan ini juga telah dikembangkan sampai mencakup kemungkinan adanya seorang penulis tidak dikenal yang telah dibina dan dipengaruhi oleh rasul Paulus, sehingga memberikan warna Paulus yang khas kepada surat ini.

(2) Tradisi Aleksandria dan pengaruhnya, berlandaskan penggunaan Perjanjian Lama terutama secara tipologi.

Pemikiran di sini menemukan bahwa analogi-analogi tertentu dalam Kitab Ibrani serupa dengan sejumlah analogi dalam karya Filo dari Aleksandria.

Pandangan ini sekarang hanya sedikit pengaruhnya.

Sebagaimana dicatat dalam SHERK, II. 877, pengaruh Filo terhadap penulis Surat Ibrani tidak diakui oleh sebagian besar pakar, sedangkan pada saat yang bersamaan pengaruhnya atas para leluhur Aleksandria pada umumnya diakui.

Alasan yang mendukung kepenulisan Paulus sangat bersandar pada pasal terakhir (13) dari Surat ini.

Sifat pribadi dari pasal ini merupakan ciri khas dari rasul Paulus, demikian pula gaya penulisan suratnya.

Penyebutan Timotius dan Italia (13:23, 24), tampaknya berhubungan langsung dengan sang rasul.

Di samping itu, terdapat persamaan yang menonjol di antara bahasa Kitab ini dengan bahasa Surat-surat Paulus (mis. 1:4; 2:2; 7:18;12:22); dan argumentasi Kristologi yang terdapat di dalam Surat ini sama dengan Kristologi Paulus di dalam Surat-suratnya.

Sebagian besar dari argumentasi ini bersifat terlalu cepat menarik kesimpulan, sebab kesamaan-kesamaan tersebut juga dapat dijumpai pada setiap penulis Kristen pada awal sejarah Kekristenan.

Dukungan terhadap kepenulisan Paulus yang mungkin tanpa tandingan terdapat di dalam karya William Leonard, authorship of the Epistle to the Hebrews: Critical Problem and Use of the Old Testament.

Berbagai alasan yang menentang kepenulisan Paulus adalah sebagai berikut:

(1) Tidak disebutnya nama rasul Paulus secara khusus sebagai penulis sebagaimana dilakukan olehnya di dalam Surat-surat yang diakui telah ditulis olehnya.

(2) Pemakaian bahasa yang kaidah penyusunan, pembahasan dan gaya penulisannya lebih tinggi daripada yang digunakan Paulus.

(3) Pengembangan logika dari argumentasi yang dikemukakan, bukan merupakan ciri Paulus.

Irama Surat Ibrani bersifat retoris dan Hellenistis, dan gaya penulisannya, secara umum, jauh lebih tenang dan ketat dibandingkan dengan gaya penulisan Paulus.

Berbagai perbedaan doktrinal tampak di dalam (1) pembahasan tentang iman, (2) pandangan eskatologis yang dikemukakan dalam pasal 12, (3) penerapan Hukum Musa di dalam argumentasinya, dan (4) konsep tentang tempat ibadah.

Leonard bahkan mengemukakan, bahwa kebiasaan untuk menganggap Perjanjian Lama sebagai "gudang contoh" (op.cit, hlm. 19), bukan merupakan ciri khas Surat-surat Paulus.

Lalu apa yang diketahui tentang Surat ini?

Penulis Surat ini adalah seorang yang cukup memahami Alkitab, seorang teolog Alkitabiah yang berpikir dari segi sejarah penebusan dan cukup mengenal Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (LXX).

Sekalipun dia adalah orang Yahudi, dia sangat memahami kebudayaan Helenistis maupun tradisi Yahudi.

Dia adalah seorang pemikir bebas, yang mungkin terpengaruh oleh rasul Paulus dan para pemikir Aleksandria.

Dia berhasil menciptakan sebuah bentuk karya tulis yang unik, berbeda dengan Kitab-kitab lainnya di dalam Perjanjian Baru.

Penulis ini sepenuhnya setia pada pokok bahasannya, yaitu menjelaskan hubungan antara Yudaisme dengan agama Kristen, yang dilakukan dengan terus menerus mengemukakan keunggulan mutlak dari Kekristenan.

Mungkin, dia adalah seorang pengkhotbah - pengajar, seorang yang cukup paham dengan hubungan pembicara - pendengar sehingga memiliki gaya menasihati - menjelaskan - mengingatkan yang dimanfaatkan olehnya secara berhasilguna di dalam memanfaatkan metode ini, penulis menunjukkan bahwa dirinya bukan sekedar tahu sepintas tentang pikiran rasul Paulus.

Bagaimanapun juga, identitas yang sesungguhnya dari penulis surat ini tetap tidak diketahui.

Sebagai kesimpulan, mungkin pandangan Origenes (abad ketiga) yang dikutip oleh Eusebius (abad keempat), nyaris tidak bisa lebih disempurnakan lagi mengenai pernyataannya tentang masalah kepenulisan ini:

"Gaya penulisan Surat ini dengan judulnya "Kepada orang Ibrani", tidak menunjukkan gaya besar yang dimiliki oleh sang rasul, yang mengakui, bahwa ia hanya memakai bahasa sehari-hari, yaitu dalam kalimat-kalimatnya. Tetapi, bahwa bahasa Yunani Surat ini lebih murni di dalam penyusunan kalimat-kalimatnya akan diakui oleh setiap orang yang mampu menangkap perbedaan gaya tersebut. Juga akan tampak, bahwa gagasan yang dikemukakan oleh Surat ini sangat indah, dan tidak kalah dengan Kitab manapun yang ditulis oleh seorang rasul. Setiap orang yang membaca tulisan para rasul dengan cermat pasti akan mengakui kenyataan ini."

Sesudah itu, Eusebius menambahkan atau mencantumkan:

"Tetapi saya hendak mengatakan, bahwa pemikiran yang dikemukakan dalam Surat ini adalah milik sang rasul, tetapi gaya penulisan dan kalimat-kalimat yang dipakai adalah milik seseorang yang telah mencatat apa yang dikatakan oleh sang rasul, dan seseorang yang telah mencatat pada waktu luangnya apa yang dikemukakan oleh gurunya itu. Jika karena itu ada Gereja yang menganggap surat ini sebagai berasal dari rasul Paulus, hendaknya Gereja tersebut dipuji, sebab orang-orang zaman dahulu itu juga tidak mengedarkan Surat ini tanpa alasan yang jelas. Tetapi siapa yang sesungguhnya menulis Surat ini, hanya Allah yang tahu" (Eusebius, Ecclesiastical History).

Penerimaan Surat Ini di Kalangan Gereja.

Di luar Perjanjian Baru, Surat ini disebut pertama kali di dalam Epistle to the Corinthians yang ditulis oleh Clemens dari Roma.

Surat ini dikenal oleh Gereja Timur maupun Barat.

Tetapi, tampaknya tidak begitu dikenal di Barat hingga sesudah abad keempat.

Para Leluhur Aleksandria secara aktif tertarik untuk membahas masalah-masalah dari Surat ini, dan baik Clemens maupun Origenes menafsirkan amanat Surat ini serta membahasnya secara panjang lebar.

Judul "Kepada Orang Ibrani" muncul pada akhir abad kedua dan sejak itu dipakai secara umum.

Sejak semula, Surat ini telah diterima di dalam kanon.

Tidak ada tokoh berwewenang, terkecuali Tertulianus, yang tidak mencantumkan Surat ini di dalam kanon Perjanjian Baru.

Pada akhir abad keempat, Barat menjadi lebih tertarik kepada Surat ini.

Jerome di dalam karyanya Epistle 129, secara terus terang menyebutkan, bahwa ia tanpa ragu menerima Surat Ibrani di dalam kanon Perjanjian Baru.

Pandangan ini dianut secara konsisten oleh para tokoh abad pertengahan dan kelompok humanis menerimanya.

Erasmus, sarjana humanis terkemuka, dan Luther, sang Reformator, menerima Surat ini sebagai bagian dari kanon Perjanjian Baru, sekalipun pandangan mereka mengenai penulisnya berbeda.

Kelompok pasca-Reformasi, tidak berhasil mempersoalkan kanonitas Surat ini, tetapi lebih memperhatikan masalah kepenulisannya.

Alur Pembahasan Surat Ini.

Tesis penulis Surat ini rupanya tertuang dalam dua pokok pikiran yang masing-masing dijelaskan dan diilustrasikan menurut logika argumennya.

Pokok pikiran yang pertama terungkap di dalam istilah "pandanglah" yang dipakai pada 3:1 dan 12:3.

Dalam setiap peristiwa itu, nasihat yang diberikan adalah untuk memandang Kristus.

Di dalam 3:1, Dia harus dipandang sebagai Rasul dan Imam Besar yang kita akui.

Dan dalam 12:3, Dia harus dipandang sebagai orang yang tekun, sebagai teladan utama dalam hidup beriman.

Dengan istilah "pandanglah" yang dimaksudkan oleh penulis adalah merenungkan, mempelajari, meneliti dengan cermat, pikirkan dengan sungguh-sungguh.

Perhatikan, bahwa orang-orang percaya diingatkan untuk memandang Kristus, dan bukan hanya melihat alasan yang masuk akal mengapa Dia harus dipandang, sebagaimana dikemukakan dalam Surat ini.

Melalui alur pembahasan di dalam Surat ini, pembaca dituntun untuk "memandang Dia" di dalam imamat dan pengorbanan-Nya.

Berbagai kontras yang dibuat di sepanjang Surat ini, secara meyakinkan menunjukkan keunggulan Kristus atas malaikat, Musa, Harun, Melkizedek, sistem Imamat, dan akhirnya bahkan atas semua teladan terbesar dari hidup beriman yang dicatat oleh Perjanjian Lama (pasal 11).

Selaku imam Allah dan persembahan kurban yang diterima oleh Allah, Kristus kini berbicara dari dalam tempat ibadah, memberikan jaminan kepada setiap orang percaya untuk mendapat jalan masuk langsung ke hadirat Allah, dan kepastian, bahwa semua permohonan dan permintaan akan didengar (4:14-16).

Pokok pikiran yang kedua dijumpai di dalam istilah nasihat (paraklesis) dengan kata kerja pendampingnya: "Aku menasihatkan" (13:22).

Pokok pikiran ini pernah disebut sebagai judul informal dari Surat ini.

Farrar (CBSC) menunjukkan, bahwa seluruh informasi yang ada di dalam Surat ini bertujuan untuk menasihati pembacanya.

Penganiayaan, pencobaan dan kesulitan, akan menjadi lebih ringan apabila orang Kristen, yang juga orang Yahudi mau "memandang Dia" (12:3) dan menyambut "nasihat ini" (13:22).

Argumen pendukung bagi tema ganda ini, kemudian diteguhkan oleh argumen keunggulan Kekristenan atas Yudaisme yang untuknya nasihat ini diarahkan.

Tujuan utama Surat ini ialah memberikan informasi kepada orang-orang Kristen yang kecil hati, dan juga memberi mereka semangat, dan mendukung kedua pendekatan tersebut dengan memanfaatkan sejumlah contoh dari Kristus dan dari orang-orang yang telah hidup berhasil oleh iman.

Sebagai inti dari semua ini, penulis menempatkan kekekalan (karena itu tidak berubah) dari imamat Kristus "menurut cara Melkisedek" (pasal 7).

Aneka Gagasan dan Konsep Penulis: Sumber dan Penggunaan.

Bentuk dan gaya penulisan yang khas (lihat bagian berikutnya dari Pendahuluan ini), menjadikan Surat Ibrani berbeda dengan Surat-surat lainnya dalam Perjanjian Baru.

Penulisnya menggunakan metode, pengaturan dan tehnik penulisan yang berbeda dengan penulis Perjanjian Baru lainnya.

Dia juga mengungkapkan gagasan dan perpaduan pikiran dengan peristiwa yang khas dirinya.

Karena tujuan utama dari Surat ini bersifat praktis, yaitu untuk mencapai kepraktisan, penulis membawa semua konsep teologisnya ke dalam kerangka acuan khusus tentang nasihat, peringatan dan penghiburan ini, ia berkonsentrasi pada berbagai konsep dan ide teologis yang ia anggap penting.

Pertimbangannya atas nama para pembaca adalah karena inilah yang paling diperlukan oleh orang-orang percaya agar mereka kuat imannya.

Dia membahas ide-ide ini sebagai seorang pembicara, yaitu dengan mengemukakan kebenaran demi kebenaran untuk mendukung pokok pembahasan utama.

Di antaranya disisipkan sejumlah peringatan yang rupanya khusus dirancang untuk mengingatkan kepada para pendengar (pembaca) mengenai berbagai akibat yang timbul, kalau orang tidak memahami kebenaran mengenai Kristus.

Gaya penulisan yang sangat indah ditunjukkan oleh penulis Surat ini.

Rupanya latar belakang pendidikan, telah memberikan kepadanya kemahiran mengenai cara-cara menyusun sebuah karya sastra.

Bahasa Yunani yang dipakai olehnya mungkin termasuk yang paling sempurna, sejajar dengan yang dipakai oleh Lukas.

Kedalaman dan keakraban budaya yang ia miliki, juga tampak dengan jelas.

Penulis kelihatannya menyadari dan menunjukkan pengaruh gaya hidup Yunani (Helenisasi) atas Yudaisme dan atas dunia Mediterania.

Di dalam ide-ide yang diungkapkan secara nyata, penulis melandaskan pembahasan teologisnya pada ayat-ayat Alkitab, dan mengembangkannya dengan menempatkan alam dunia yang seperti bayangan berhadapan dengan alam nyata, atau surga.

Sumber Perjanjian Lama atau Alkitab yang dipakai olehnya adalah Septuaginta atau LXX.

Dalam beberapa hal, kata-kata yang dipergunakan dalam LXX, tidak ada di dalam teks Ibrani yang ada pada kita.

Untuk membuktikan, bahwa alam surgawi merupakan alam nyata, penulis menjadikan semua nas kalau bisa untuk dikaitkan dengan Kristus.

Seluruh Perjanjian Lama, sebagaimana digunakan oleh penulis Surat ini, merupakan paparan berkesinambungan yang mengungkapkan pribadi dan karya Tuhan Yesus Kristus.

Jalan masuk ke alam surgawi dan pemahaman kita akan alam tersebut, juga terdapat di dalam Kristus.

Penulis Surat Ibrani adalah satu-satunya penulis Perjanjian Baru yang membahas sejumlah pokok tertentu.

Tidak ada penulis Perjanjian Baru lain, misalnya, yang membahas makna Melkisedek (7:1-14).

Suatu cara baru untuk menghargai peranan para leluhur Israel juga dijumpai di dalam pasal 11.

Beberapa aspek dari kehidupan Musa yang ditekankan di dalam Surat ini, juga tidak dibahas di dalam Kitab-kitab yang lain.

Pokok tentang pertobatan disajikan secara berbeda (12:17), seperti halnya pokok tentang dosa yang disengaja (10:26).

Banyak konsep pribadi dari sang penulis telah menimbulkan kesulitan penafsiran bagi angkatan-angkatan berikutnya.

Pokok yang dikembangkan secara paling lengkap di dalam Surat ini ialah keimaman Kristus.

Pokok ini merupakan pokok khas Surat Ibrani, pokok yang paling penting untuk dipahami.

Waktu mengemukakan konsep tersebut, tampak tiga buah "sumber": (1) lembaga imamat dan upacara kurban dalam Perjanjian Lama atau sistem Imamat; (2) Yudaisme; dan (3) Kekristenan rasuli.

Pengaruh lain apa pun yang mungkin ada, ketiga sumber inilah yang paling menonjol.

Selaku imam, Kristus dipanggil secara ilahi, dan manunggal dengan kemanusiaan (2:14-18; 4:15, 16; 5:1-3).

Dia memenuhi kebutuhan umat-Nya (2:17-18).

Dia membuka jalan menuju hadirat Allah (10:19, 20), dan membuka "tempat yang maha kudus" dan "takhta kasih karunia" (4:14-16).

Dia menjadi persembahan kurban yang sempurna dan terakhir (10:18).

Oleh pelayanan imamat Kristus, orang percaya mendapat kekuatan iman dan kehormatan untuk menyembah.

Mungkin, tidak ada Kitab di dalam Perjanjian Baru, yang lebih sempurna mengemukakan persekutuan dengan Allah melalui penyembahan dibandingkan dengan Surat ini.

Kristologi Kitab Ibrani itu kaya, tetapi terutama hal itu dikemukakan di dalam pelayanan dan fungsi Kristus selaku imam.

Kristus pertama kali diperkenalkan sebagai Pribadi yang menyatakan Allah (1:1) dan pelaksana penciptaan (1:1-4).

Makna dari kata gambar wujud pada 1:3, tidak boleh diabaikan.

Sesudah pendahuluan ini, pembahasan Kristologi dengan cepat mengalir ke dalam argumen utama tentang pelayanan Kristus selaku imam.

Ajaran moral dari Surat Ibrani memiliki standar yang paling tinggi dan sepenuhnya Kristiani, sekalipun disajikan secara umum.

Hanya di dalam pasal 13, ajaran moral Surat ini bersifat khusus dan terarah.

Kasih persaudaraan (13:1), kemurahan terhadap orang asing (13:2) dan mereka yang kurang beruntung (13:3), pernikahan yang terhormat (13:4), sikap yang benar terhadap kekayaan materiil (13:5), menghormati penatua (13:7, 17) melakukan perbuatan baik (13:16), diperintahkan secara positif.

Untuk semua hal ini, seorang Kristen tidak memiliki pilihan.

Banyak dari perintah moral dalam Surat ini terdapat dalam analogi imamat, sehingga tidak segera kelihatan seperti dalam Injil-injil Sinoptis, atau dalam beberapa Surat Paulus.

Mengenai nilai praktisnya, Surat Ibrani secara kokoh berlandaskan pada kenyataan, bahwa Kristus memenuhi kebutuhan semua orang pada setiap saat (termasuk manusia modern).

Setiap saat, manusia dapat menghampiri Allah melalui Kristus.

Di dalam konsep ini terungkap kesatuan sejarah sebagai bersifat langsung dan menyelamatkan dengan Allah yang melalui Kristus menentukan nasib umat manusia sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya.

Surat Ibrani tidak membuat sebuah filsafat sejarah yang berbeda dengan yang terdapat dalam Kitab-kitab lain dalam Perjanjian Baru.

Bentuk Dan Gaya Penulisan.

Hanya bagian mulai 13:17 hingga 13:25, yang membuat Kitab ini memenuhi syarat sebagai Surat.

Tetapi, jenis penulisan Kitab ini merupakan masalah.

Diawali bagaikan sebuah Risalah, dilanjutkan bagaikan sebuah Khotbah dan diakhiri bagaikan sebuah Surat.

Bentuk awalnya yang sekarang merupakan satu-satunya bentuk awal yang dimiliki Kitab ini.

Di dalamnya tidak terdapat salam ataupun sebutan yang bersifat pribadi.

Di dalam bentuk sastranya, terdapat beberapa ciri khas.

Waktu mengutip Perjanjian Lama, si penulis dapat memakai sebuah ayat secara harfiah, secara historis ataupun secara tipologis.

Konsistensi penulis hanya terdapat dalam kenyataan, bahwa caranya mengutip nas Perjanjian Lama mendukung alur pembahasan utamanya ketika dicantumkan.

Telah ditunjukkan, bahwa semua nasihat dan peringatan di dalam Surat Ibrani menggolongkan Kitab ini sebagai bersifat polemik, dengan bentuk akhir yang seperti Surat sebagai cara untuk mengakhiri polemik tersebut.

Jika gagasan ini benar, maka sang penulis secara menakjubkan sanggup mengelak menyebut dirinya.

Acuan-acuan yang bersifat otobiografis tidak ada sama sekali, dan berbagai metafora yang dipakai memperkuat polemik itu tanpa menunjukkan satu pun petunjuk tentang siapa yang melancarkan polemik ini.

Selama ini ada pendapat, bahwa bentuk sastra utama dari Surat Ibrani mengikuti pola Aleksandria yang diciptakan oleh Filo (lihat J. Herkless [ed], Hebrews and the Epistles General of Peter, Janzes and John; juga IB).

Cara sang penulis mengkontraskan alam surgawi dengan alam duniawi, alam "bayangan" dengan alam nyata oleh kalangan tertentu, dianggap sebagai teknik penulisan yang diambil alih dari Filo dari Aleksandria.

IB menyebut gaya ini pandangan "bertingkat dua" tentang realitas yang mengendalikan seluruh pemikiran Surat Ibrani (XI, 583).

Pandangan lain yang dikemukakan ialah:

(1) Bahwa pengaruh Filo dapat diabaikan, atau

(2) Bahwa teori pengaruh Filo ini sama sekali tidak benar.

Manson cenderung memperkecil pengaruh Filo (William Manson, The Epistle to the Hebrews, An Historical and Theological Reinterpretation).

A. B. Davidson, ketika membahas penulis Surat Ibrani (op.cit), berbicara tentang jejak-jejak pengaruh dari "kebudayaan Aleksandria atas bahasa yang dipakainya", tetapi tidak mengajukan alasan untuk mendukung pandangan pengaruh Filo ini.

Jadi, dalam hal tertentu, asal-usul dari bentuk Surat Ibrani tetap merupakan masalah terbuka.

(3) Sekalipun demikian, Spicq (L' epitre aux Hebrews), mencatat cukup banyak petunjuk yang ia anggap sebagai menunjukkan latar belakang pemikiran Filo.

Bagaimanapun juga, yang jelas adalah, bahwa penulis Surat ini secara sistematis mengemukakan serangkaian ide dasar yang berdasarkannya ia mengaitkan nas-nas dari Perjanjian Lama dengan argumen-argumen.

Diterima atau tidaknya gagasan yang dikemukakan ini, bukan tujuan sang penulis.

Yang lebih diharapkan olehnya ialah agar orang-orang percaya memahami sepenuhnya semua gagasan tersebut dan bertindak sesuai dengannya.

William Leonard (op.cit, hlm. 221), berhasil menemukan tujuh buah gagasan semacam itu:

(1) Kedudukan Kristus sebagai Anak.

(2) Imamat Kristus, dasar bagi pembersihan dari dosa.

(3) Imam yang duduk di sebelah kanan Allah, dasar bagi pengharapan Kristen.

(4) Janji Allah kepada Abraham.

(5) Permanennya "perhentian Sabat" yang dijanjikan.

(6) Berbagai akibat dari kemurtadan.

(7) Nasihat untuk hidup suci dengan mengingat masa depan.

IB (loc.cit) mencatat adanya tiga belas gagasan pokok semacam itu, yang mencakup ketujuh gagasan di atas, tetapi menambahkan beberapa gagasan seperti janji, bahwa Kristus akan datang kembali, kalahnya Iblis, kemenangan atas maut, dalam janji akan kelepasan orang-orang percaya dari perbudakan.

Semua gagasan ini adalah kesatuan-kesatuan yang konstan, dan baik dalam bentuk maupun gaya penyajiannya, segala sesuatu dijadikan mengacu kepada salah satu atau lebih gagasan dasar tersebut.

Yang menjadi inti dari semua gagasan ini ialah konsep tentang Kristus selaku imam sempurna Allah yang menetapkan Perjanjian Baru melalui karya imamat-Nya dan juga melalui kematian-Nya sebagai kurban.

Kristologi tinggi dari Surat Ibrani ini tidak diragukan lagi.

Namun, sekalipun Kristologi Surat ini didukung oleh begitu banyak masukan dari Perjanjian Lama dan gagasan lain yang pokok dalam Surat ini, persoalan membingungkan berupa akhir berbentuk Surat mulai dari 13:17 ke belakang, tetap ada.

Empat penyelesaian yang mungkin bagi persoalan membingungkan itu adalah:

(1) Bahwa penulis menulis Surat ini kepada kelompok tertentu dan sejak semula sudah menetapkan akan mengakhiri karyanya dengan cara ini.

(2) Bahwa Surat yang asli dikirim ke sidang pembaca yang kedua, dan bahwa bagian akhir yang baru telah ditambahkan untuk menolong kelompok yang kedua ini.

(3) Bahwa seorang lain dan bukan penulis yang telah menambahkan bagian akhir tersebut ketika mengirimkannya kepada kelompok yang lain.

(4) Bahwa seorang telah menambahkan bagian akhir ini untuk memberikan kesan, bahwa seluruh Surat ini ditulis oleh Paulus.

Dari keempat gagasan tersebut, gagasan pertama dan keempat merupakan gagasan yang paling masuk akal.

Beberapa ciri dari gaya penulisan Surat ini juga tampak menyolok.

Penulis memiliki kebiasaan untuk memulai kutipan dari Perjanjian Lama dengan "Allah berfirman" (lihat 4:3, 5:5, 6; 8:10; dan "Roh Kudus mengatakan" (3:7).

Penulis juga biasa memperkenalkan bagian-bagian dari uraiannya beberapa saat sebelum dia membahasnya secara lengkap.

Karena itu, setiap uraian yang agak panjang dalam Surat ini mempunyai pernyataan pendahuluan.

Pada semua bagian, dia mengacu kepada hukum ritual dan bukan hukum moral atau hukum sosial dari Hukum Taurat, seperti tentang hari-hari raya.

Secara khas, penulis memakai Nama "Yesus" dan bukan memakai Nama lengkap-Nya sebagaimana yang digunakan oleh rasul Paulus.

Selanjutnya, waktu memperkenalkan "Yesus" sebagai "jalan yang baru dan yang hidup", penulis tidak berbelok dari alur pemikiran atau meninggalkan uraiannya secara tidak lengkap.

Penulis Surat ini rupanya benar-benar menguasai diri dan menguasai teknik-teknik penulisan yang dipakai olehnya.

Garis Besar Kitab Ibrani

I. Pendahuluan (1:1-4)

A. Kristus Lebih Tinggi dari Para Nabi (1:1, 2)

B. Kristus, "cetakan" Allah (1:3, 4)

II. Semua Uraian Utama Diperkenalkan dan Dijelaskan (1:5-10:18)

A. Kristus "Lebih Besar Daripada"; Alasan Pendukung Keunggulan (1 :5--7:28)

1. Lebih Tinggi dari Para Malaikat (1:5-14)

2. Keselamatan yang Lebih Besar dan Peringatan (2:1-4)

3. Kristus Sebagai Manusia Sempurna (2:5-18)

4. Kristus Lebih Tinggi dari Musa (3:1-6)

5. Keunggulan Keamanan Kristus Atas Keamanan dan Yosua (3:7-4:13)

6. Kristus Selaku Imam Besar dari Harun (4:14-5:10)

7. Sebuah Teguran Karena (5:11-6:20)

8. Imamat Melkisedek (7:1-28)

B. Kristus, Pelayan dan Imam Besar Perjanjian Baru (8:1 - 10:18)

1. Perjanjian Baru Dalam Hubungannya dengan Perjanjian Lama (8:1-9)

2. Perjanjian yang Lebih Baik Dijelaskan (8:10-13)

3. Tempat Kudus Baru dan Kurban Sempurna (9:1-28)

4. Perjanjian Baru Lengkap, Sempurna dan Sedang Bekerja (10:1-18)

III. Unsur-unsur Kehidupan Beriman (10:19-13:17)

A. Gambaran Tentang, Kehidupan Beriman (10:19-25)

B. Gambaran Tentang Orang-orang yang Menolak "Jalan dan yang Hidup" (10:26-30)

C. Sejumlah Teladan Hidup Beriman (11:1-40)

D. Kristus, Teladan Utama Kehidupan Beriman (12:1-4)

E. Kasih Bapa Dikenal Melalui Penghajaran (12:5-11)

F. Perilaku Kristen di Bawah Perjanjian Baru (12:12-29)

G. Kehidupan Kristen Dalam Praktik Sehari-hari (13:1-17)

IV. Penutup yang Bersifat Pribadi (13:18-15)

Sumber ayat Alkitab / tafsiran: Software e-sword dan Alkitab.sabda.org.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel