Ulangan 25:5-10: Tentang Kawin dengan Isteri Saudara yang Telah Mati

Tentang Kawin dengan Isteri Saudara yang Telah Mati​.

Setelah belajar perikop Menentang Kekerasan Yang Sewenang-wenang dari Kitab Ulangan, sekarang kita belajar perikop lanjutannya, yakni Tentang Kawin dengan Isteri Saudara yang Telah Mati.

Berikut ini tampilan ayat-ayat Firman Tuhan dalam Kitab Ulangan (Deuteronomy 25:5-10 dengan judul perikop Tentang Kawin dengan Isteri Saudara yang Telah Mati).

Kita belajar perikop Tentang Kawin dengan Isteri Saudara yang Telah Mati ini dengan menggunakan tafsiran / catatan Wycliffe. Semua ayat dikutip dalam bentuk tulisan italic warna biru, sedangkan tafsiran / komentar dalam tulisan biasa.

Ayat Akitab dikutip dari software e-Sword, sedangkan komentarinya dari situs Alkitab.sabda.org. Yuk kita belajar.

Tentang Kawin dengan Isteri Saudara yang Telah Mati (Kitab Ulangan 25:5-10)


Deu 25:5 "Apabila orang-orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari pada mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isterinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar.

Deu 25:6 Maka anak sulung yang nanti dilahirkan perempuan itu haruslah dianggap sebagai anak saudara yang sudah mati itu, supaya nama itu jangan terhapus dari antara orang Israel.

Deu 25:7 Tetapi jika orang itu tidak suka mengambil isteri saudaranya, maka haruslah isteri saudaranya itu pergi ke pintu gerbang menghadap para tua-tua serta berkata: Iparku menolak menegakkan nama saudaranya di antara orang Israel, ia tidak mau melakukan kewajiban perkawinan ipar dengan aku.

Deu 25:8 Kemudian para tua-tua kotanya haruslah memanggil orang itu dan berbicara dengan dia. Jika ia tetap berpendirian dengan mengatakan: Aku tidak suka mengambil dia sebagai isteri--

Deu 25:9 maka haruslah isteri saudaranya itu datang kepadanya di hadapan para tua-tua, menanggalkan kasut orang itu dari kakinya, meludahi mukanya sambil menyatakan: Beginilah harus dilakukan kepada orang yang tidak mau membangun keturunan saudaranya.

Deu 25:10 Dan di antara orang Israel namanya haruslah disebut: Kaum yang kasutnya ditanggalkan orang."


Ketentuan-ketentuan: Hidup Menurut Perjanjian (5:1-26:19).

Ketika perjanjian-perjanjian tentang kekuasaan raja dibaharui, maka peraturan-peraturannya yang merupakan bagian yang panjang dan menentukan di dalam sebuah dokumen perjanjian, diulang kembali dengan sejumlah penyempurnaan, khususnya penyempurnaan yang diperlukan sesuai dengan situasi yang berubah.

Oleh karena itu, Musa merangkum dan merumuskan ulang berbagai syarat yang dikemukakan di dalam Perjanjian Sinai.

Selanjutnya, sebagaimana peraturan-peraturan perjanjian biasanya diawali dengan tuntutan yang mendasar dan umum agar si raja yang kalah tunduk sepenuhnya kepada raja pemenang, dan sesudah itu baru dilanjutkan dengan peraturan yang lebih terinci.

Demikian pula Musa saat ini menghadapkan Israel dengan tuntutan primer, yakni mengkhususkan diri sepenuhnya untuk Tuhan (ay. 5-11), dan sesudah itu barulah dengan peraturan-peraturan tambahan tentang kehidupan sesuai perjanjian (ay. 12-26).

Berbagai Perintah Pelengkap (12:1-26:19).



Setelah melukiskan semangat batin dari kehidupan teokratis (ps. 5-11), Musa melanjutkan dengan menguraikan ketetapan dan peraturan dari bentuk lahiriah teokrasi itu (ps. 12-26).

Pasal 12:1-16:17 terutama berkenaan dengan berbagai persyaratan pentahiran dengan upacara agama.

Kewenangan pemerintahan dan hukum merupakan pokok pembahasan dalam 16:18-21:23.

Luasnya hubungan antar warga teokrasi dicantumkan di 22:1-25:19.

Rangkaian peraturan ini diakhiri dengan pengakuan ritual tentang kekuasaan Tuhan dan pernyataan akhir tentang pengesahan perjanjian (ps. 26).

Kekudusan Tatanan Ilahi (22:1-25:19).

Kasih kepada Allah menuntut sikap menghormati ketetapan-ketetapan Allah di berbagai tahapan penciptaan, dan berbagai aspek kegiatan kemanusiaan.

Seorang hamba perjanjian harus mengakui kekudusan dari tatanan alam (22:5-12), pernikahan (22:13-30), dan kerajaan teokratis (23:1-25:12 -25:12).

Dengan pengecualian sebagian terhadap tatanan alam, wilayah yang dibahas adalah hubungan antar sesama hamba perjanjian.

Dengan demikian, seluruh bagian ini berisi hukum-hukum yang pada dasarnya berintikan kasih terhadap sesama seperti terhadap dirinya sendiri (22:1-4, 25:13-16).

Di dalam perjanjian-perjanjian antara raja di luar Alkitab, juga diatur hubungan di antara sesama orang-orang yang tunduk pada sang raja itu.

Kekudusan Perseorangan (25:1-19).

Ayat 1-12 yang merupakan hukum terakhir tentang pengudusan kerajaan (23:1-25:12) menjaga kekudusan perseorangan selaku pembawa gambar Allah.

Ayat 13-19 menutup bagian hukum tentang sikap menghormati alam, keluarga dan tatanan teokrasi (ps. 22-25) yang juga diawali dengan prinsip kaidah emas dengan mana bagian ini juga diawali sebelumnya (bdg. 22:1-4).

6. Supaya nama itu jangan terhapus dari antara orang Israel. Martabat dari hamba dan putra Allah ini haruslah diberitakan melalui pengabadian namanya di dalam keturunan perjanjian yang tinggal di dalam warisannya di kerajaan zaman Perjanjian Lama yang bersifat sebagai lambang.

Selaku penerapan dari peraturan ini, Perjanjian dalam Kitab Ulangan mengambil bentuk kebiasaan umum dari pernikahan levirat, melalui mana seorang adik laki-laki dari orang yang telah meninggal tanpa meninggalkan keturunan, berkewajiban untuk menikahi janda kakaknya agar bisa memperoleh keturunan bagi kakaknya, maka anak sulung yang nanti dilahirkan perempuan itu haruslah dianggap sebagai anak saudara yang sudah mati itu.

Peraturan ini merupakan sebuah perkecualian terhadap larangan dari Imamat 18:16, 20:21.

Contoh-contoh Alkitab dari pelaksanaan perintah ini ialah Kejadian 38 dan Kitab Rut.

Kewajiban levirat ini di dalam Kitab Ulangan hanya dibatasi pada kakak adik yang memiliki warisan tanah yang sama (25:5a), dan dalam hal itu pun peraturan ini tidak bersifat mengikat -- tetapi jika orang itu tidak suka mengambil isteri saudaranya (ay. 7).

Sekalipun demikian, ketidaksediaan tersebut menunjukkan tidak adanya kasih persaudaraan, sehingga harus dihukum di depan umum (ay. 8-10).

Tentang pengalihan kasut sebagai tanda pengalihan hak atau harta milik lihat Rut 4:7.

Menurut ketetapan Bilangan 27:4 dan seterusnya, pernikahan levirat tidak diperlukan, jika orang yang meninggal memiliki anak perempuan.

Karena itu, terjemahan tidak meninggalkan anak, lebih tepat daripada tidak meninggalkan anak laki-laki seperti yang terdapat di terjemahan baru LAI.

Perikop Selanjutnya: Larangan Berbuat Biadab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel