Ulangan 21:15-17: Hak Kesulungan
Minggu, Desember 24, 2017
Edit
Hak Kesulungan. |
Setelah belajar perikop Tawanan Perempuan Yang Diambil Menjadi Isteri dari Kitab Ulangan, sekarang kita belajar perikop lanjutannya, yakni Hak Kesulungan.
Berikut ini tampilan ayat-ayat Firman Tuhan dalam Kitab Ulangan (Deuteronomy 21:15-17 dengan judul perikop Hak Kesulungan).
Kita belajar perikop Hak Kesulungan ini dengan menggunakan tafsiran / catatan Wycliffe. Semua ayat dikutip dalam bentuk tulisan italic warna biru, sedangkan tafsiran / komentar dalam tulisan biasa.
Ayat Akitab dikutip dari software e-Sword, sedangkan komentarinya dari situs Alkitab.sabda.org. Yuk kita belajar.
Deu 21:15 "Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai,
Deu 21:16 maka pada waktu ia membagi warisan harta kepunyaannya kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia memberikan bagian anak sulung kepada anak dari isteri yang dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang adalah anak sulung.
Deu 21:17 Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan."
Batas-batas Kewenangan Ayah (21:15-17).
Peraturan ini membatasi kewenangan seorang ayah terhadap putra-putranya, khususnya menyangkut hak-hak putra sulung.
Ilustrasi yang dipakai melukiskan suatu situasi lain di dalam sistem pengaturan Musa yang sekadar diizinkan, yaitu poligami.
Jika ada praktik poligami, maka persoalan yang dikemukakan (ay. 15) tentu sudah umum (bdg. Kej. 29:30 dst [Kisah Yakub dengan Lea dan Rahel], I Sam. 1:4 dst [Kisah Lahirnya Samuel]).
17c. Dialah yang empunya hak kesulungan. Termasuk hak kesulungan ini ialah hak untuk mewarisi dua kali lipat warisan saudara-saudaranya yang lain.
Prinsip yang ditegaskan di sini ialah, bahwa orang tua tidak mempunyai wewenang mutlak.
Pilihan pribadi seorang ayah saja tidak boleh menghilangkan hak kesulungan dari putra sulungnya.
Perikop Selanjutnya: Anak Yang Durhaka.
Berikut ini tampilan ayat-ayat Firman Tuhan dalam Kitab Ulangan (Deuteronomy 21:15-17 dengan judul perikop Hak Kesulungan).
Kita belajar perikop Hak Kesulungan ini dengan menggunakan tafsiran / catatan Wycliffe. Semua ayat dikutip dalam bentuk tulisan italic warna biru, sedangkan tafsiran / komentar dalam tulisan biasa.
Ayat Akitab dikutip dari software e-Sword, sedangkan komentarinya dari situs Alkitab.sabda.org. Yuk kita belajar.
Hak Kesulungan (Kitab Ulangan 21:15-17)
Deu 21:15 "Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai,
Deu 21:16 maka pada waktu ia membagi warisan harta kepunyaannya kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia memberikan bagian anak sulung kepada anak dari isteri yang dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang adalah anak sulung.
Deu 21:17 Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan."
Ketentuan-ketentuan: Hidup Menurut Perjanjian (5:1-26:19).
Ketika perjanjian-perjanjian tentang kekuasaan raja dibaharui, maka peraturan-peraturannya yang merupakan bagian yang panjang dan menentukan di dalam sebuah dokumen perjanjian, diulang kembali dengan sejumlah penyempurnaan, khususnya penyempurnaan yang diperlukan sesuai dengan situasi yang berubah.
Oleh karena itu, Musa merangkum dan merumuskan ulang berbagai syarat yang dikemukakan di dalam Perjanjian Sinai.
Selanjutnya, sebagaimana peraturan-peraturan perjanjian biasanya diawali dengan tuntutan yang mendasar dan umum agar si raja yang kalah tunduk sepenuhnya kepada raja pemenang, dan sesudah itu baru dilanjutkan dengan peraturan yang lebih terinci.
Demikian pula Musa saat ini menghadapkan Israel dengan tuntutan primer, yakni mengkhususkan diri sepenuhnya untuk Tuhan (ay. 5-11), dan sesudah itu barulah dengan peraturan-peraturan tambahan tentang kehidupan sesuai perjanjian (ay. 12-26).
Berbagai Perintah Pelengkap (12:1-26:19).
Setelah melukiskan semangat batin dari kehidupan teokratis (ps. 5-11), Musa melanjutkan dengan menguraikan ketetapan dan peraturan dari bentuk lahiriah teokrasi itu (ps. 12-26).
Pasal 12:1-16:17 terutama berkenaan dengan berbagai persyaratan pentahiran dengan upacara agama.
Kewenangan pemerintahan dan hukum merupakan pokok pembahasan dalam 16:18-21:23.
Luasnya hubungan antar warga teokrasi dicantumkan di 22:1-25:19.
Rangkaian peraturan ini diakhiri dengan pengakuan ritual tentang kekuasaan Tuhan dan pernyataan akhir tentang pengesahan perjanjian (ps. 26).
Keadilan Pengadilan Pemerintah (16:18-21:23).
Bagian ini berisi serangkaian peraturan yang berkenaan dengan pemerintahan teokratis, dengan penekanan utama pada unsur hukumnya.
Di samping kekudusan ibadah, Israel juga harus memiliki keadilan politik hukum.
Di antara pemerintahan dan ibadah, terdapat kesatuan otoritas tertinggi, sebab Tuhan merupakan Allah dan juga Raja Israel.
Oleh karena itu, semua lembaga teokratis, tidak seperti dalam negara yang biasa, bersifat religius, dan ada perluasan praktik ibadah hingga keluar dari wilayah tempat ibadah dan memasuki gelanggang pemerintahan.
Selanjutnya, karena seluruh hukum teokratis, baik yang menyangkut moral dan sipil maupun menyangkut ibadah dipahami menurut peraturan perjanjian dari Tuhan yang tercatat di dalam dokumen perjanjian, dan karena Kitab Hukum tersebut diserahkan kepada para imam di tempat ibadah pusat untuk dipelihara dan dijelaskan kepada bangsa itu, para imam memiliki kekuasaan utama di bidang hukum (bdg. 21:5), setidak-tidaknya hingga masa permulaan kerajaan (bdg. 17:9- 10).
Di samping pengetahuan mereka tentang hukum yang tertulis, para imam juga bisa memanfaatkan Urim dan Tumim untuk mengetahui keputusan ilahi.
Kenyataan tersebut akan memberikan peranan yang lebih tinggi kepada para imam, sekalipun di kemudian hari para raja lebih banyak berperan di bidang hukum.
Di seluruh negeri tersebut, suara lisan dari Raja ilahi yang bertakhta di tempat ibadah pusat itu makin dinyatakan kepada dan melalui seorang nabi.
Namun, sementara para nabi mencatat hukuman Tuhan yang tidak terduga kepada bangsa dan pemimpin umat-Nya, fungsi hukum dari para imam adalah menyangkut proses peradilan kasus sengketa antar orang Israel.
Kewenangan Tempat Ibadah dan Rumah (21:1-23).
Pasal ini menutup bagian yang membahas kewenangan pemerintah.
Karena semua bentuk kewenangan merupakan perluasan dari kewenangan setiap kepala rumah tangga (lih. titah kelima), perangkat peraturan yang terakhir ini secara cocok sekali berkenaan dengan pengaturan kewenangan di dalam rumah tangga.
Terdapat sejumlah sanksi untuk menegaskan kewenangan ini (ay. 18-21), dan juga dikemukakan peraturan untuk menjamin penggunaannya yang sah (ay. 10-17).
Ayat-ayat pembukaan bagian ini melukiskan prosedur hukum di dalam kasus di mana hukuman tidak dapat dikenakan, sebab terdakwanya tidak dikenal (ay. 1-9).
Ketetapan-ketetapan itu dibuat sedemikian rupa untuk lebih jauh menunjukkan orientasi semua pemerintahan teokratis pada tempat ibadah.
Demikian pula peraturan penutup menandaskan agar hukum seremonial keagamaan dihormati di dalam memberlakukan hukum kejahatan (ay. 22-23).
Mezbah dan ruang sidang teokratis merupakan dua manifestasi dari keadilan Raja teokrasi, yaitu Pribadi kudus yang memilih Israel sebagai tempat tinggal-Nya.
Batas-batas Kewenangan Ayah (21:15-17).
Peraturan ini membatasi kewenangan seorang ayah terhadap putra-putranya, khususnya menyangkut hak-hak putra sulung.
Ilustrasi yang dipakai melukiskan suatu situasi lain di dalam sistem pengaturan Musa yang sekadar diizinkan, yaitu poligami.
Jika ada praktik poligami, maka persoalan yang dikemukakan (ay. 15) tentu sudah umum (bdg. Kej. 29:30 dst [Kisah Yakub dengan Lea dan Rahel], I Sam. 1:4 dst [Kisah Lahirnya Samuel]).
17c. Dialah yang empunya hak kesulungan. Termasuk hak kesulungan ini ialah hak untuk mewarisi dua kali lipat warisan saudara-saudaranya yang lain.
Prinsip yang ditegaskan di sini ialah, bahwa orang tua tidak mempunyai wewenang mutlak.
Pilihan pribadi seorang ayah saja tidak boleh menghilangkan hak kesulungan dari putra sulungnya.
Perikop Selanjutnya: Anak Yang Durhaka.