Ulangan 21:10-14: Tawanan Perempuan Yang Diambil Menjadi Isteri

Tawanan Perempuan Yang Diambil Menjadi Isteri​.

Setelah belajar perikop Cara Mengadakan Pendamaian Karena Pembunuhan Oleh Seorang Yang Tak Dikenal dari Kitab Ulangan, sekarang kita belajar perikop lanjutannya, yakni Tawanan Perempuan Yang Diambil Menjadi Isteri.

Berikut ini tampilan ayat-ayat Firman Tuhan dalam Kitab Ulangan (Deuteronomy 21:10-14 dengan judul perikop Tawanan Perempuan Yang Diambil Menjadi Isteri).

Kita belajar perikop Tawanan Perempuan Yang Diambil Menjadi Isteri ini dengan menggunakan tafsiran / catatan Wycliffe. Semua ayat dikutip dalam bentuk tulisan italic warna biru, sedangkan tafsiran / komentar dalam tulisan biasa.

Ayat Akitab dikutip dari software e-Sword, sedangkan komentarinya dari situs Alkitab.sabda.org. Yuk kita belajar.

Tawanan Perempuan Yang Diambil Menjadi Isteri (Kitab Ulangan 21:10-14)


Deu 21:10 "Apabila engkau keluar berperang melawan musuhmu, dan TUHAN, Allahmu, menyerahkan mereka ke dalam tanganmu dan engkau menjadikan mereka tawanan,

Deu 21:11 dan engkau melihat di antara tawanan itu seorang perempuan yang elok, sehingga hatimu mengingini dia dan engkau mau mengambil dia menjadi isterimu,

Deu 21:12 maka haruslah engkau membawa dia ke dalam rumahmu. Perempuan itu harus mencukur rambutnya, memotong kukunya,

Deu 21:13 menanggalkan pakaian yang dipakainya pada waktu ditawan, dan tinggal di rumahmu untuk menangisi ibu bapanya sebulan lamanya. Sesudah demikian, bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi isterimu.

Deu 21:14 Apabila engkau tidak suka lagi kepadanya, maka haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya; tidak boleh sekali-kali engkau menjual dia dengan bayaran uang; tidak boleh engkau memperlakukan dia sebagai budak, sebab engkau telah memaksa dia."


Ketentuan-ketentuan: Hidup Menurut Perjanjian (5:1-26:19).

Ketika perjanjian-perjanjian tentang kekuasaan raja dibaharui, maka peraturan-peraturannya yang merupakan bagian yang panjang dan menentukan di dalam sebuah dokumen perjanjian, diulang kembali dengan sejumlah penyempurnaan, khususnya penyempurnaan yang diperlukan sesuai dengan situasi yang berubah.

Oleh karena itu, Musa merangkum dan merumuskan ulang berbagai syarat yang dikemukakan di dalam Perjanjian Sinai.

Selanjutnya, sebagaimana peraturan-peraturan perjanjian biasanya diawali dengan tuntutan yang mendasar dan umum agar si raja yang kalah tunduk sepenuhnya kepada raja pemenang, dan sesudah itu baru dilanjutkan dengan peraturan yang lebih terinci.

Demikian pula Musa saat ini menghadapkan Israel dengan tuntutan primer, yakni mengkhususkan diri sepenuhnya untuk Tuhan (ay. 5-11), dan sesudah itu barulah dengan peraturan-peraturan tambahan tentang kehidupan sesuai perjanjian (ay. 12-26).

Berbagai Perintah Pelengkap (12:1-26:19).



Setelah melukiskan semangat batin dari kehidupan teokratis (ps. 5-11), Musa melanjutkan dengan menguraikan ketetapan dan peraturan dari bentuk lahiriah teokrasi itu (ps. 12-26).

Pasal 12:1-16:17 terutama berkenaan dengan berbagai persyaratan pentahiran dengan upacara agama.

Kewenangan pemerintahan dan hukum merupakan pokok pembahasan dalam 16:18-21:23.

Luasnya hubungan antar warga teokrasi dicantumkan di 22:1-25:19.

Rangkaian peraturan ini diakhiri dengan pengakuan ritual tentang kekuasaan Tuhan dan pernyataan akhir tentang pengesahan perjanjian (ps. 26).

Keadilan Pengadilan Pemerintah (16:18-21:23).



Bagian ini berisi serangkaian peraturan yang berkenaan dengan pemerintahan teokratis, dengan penekanan utama pada unsur hukumnya.

Di samping kekudusan ibadah, Israel juga harus memiliki keadilan politik hukum.

Di antara pemerintahan dan ibadah, terdapat kesatuan otoritas tertinggi, sebab Tuhan merupakan Allah dan juga Raja Israel.

Oleh karena itu, semua lembaga teokratis, tidak seperti dalam negara yang biasa, bersifat religius, dan ada perluasan praktik ibadah hingga keluar dari wilayah tempat ibadah dan memasuki gelanggang pemerintahan.

Selanjutnya, karena seluruh hukum teokratis, baik yang menyangkut moral dan sipil maupun menyangkut ibadah dipahami menurut peraturan perjanjian dari Tuhan yang tercatat di dalam dokumen perjanjian, dan karena Kitab Hukum tersebut diserahkan kepada para imam di tempat ibadah pusat untuk dipelihara dan dijelaskan kepada bangsa itu, para imam memiliki kekuasaan utama di bidang hukum (bdg. 21:5), setidak-tidaknya hingga masa permulaan kerajaan (bdg. 17:9- 10).

Di samping pengetahuan mereka tentang hukum yang tertulis, para imam juga bisa memanfaatkan Urim dan Tumim untuk mengetahui keputusan ilahi.

Kenyataan tersebut akan memberikan peranan yang lebih tinggi kepada para imam, sekalipun di kemudian hari para raja lebih banyak berperan di bidang hukum.

Di seluruh negeri tersebut, suara lisan dari Raja ilahi yang bertakhta di tempat ibadah pusat itu makin dinyatakan kepada dan melalui seorang nabi.

Namun, sementara para nabi mencatat hukuman Tuhan yang tidak terduga kepada bangsa dan pemimpin umat-Nya, fungsi hukum dari para imam adalah menyangkut proses peradilan kasus sengketa antar orang Israel.

Kewenangan Tempat Ibadah dan Rumah (21:1-23).

Pasal ini menutup bagian yang membahas kewenangan pemerintah.

Karena semua bentuk kewenangan merupakan perluasan dari kewenangan setiap kepala rumah tangga (lih. titah kelima), perangkat peraturan yang terakhir ini secara cocok sekali berkenaan dengan pengaturan kewenangan di dalam rumah tangga.

Terdapat sejumlah sanksi untuk menegaskan kewenangan ini (ay. 18-21), dan juga dikemukakan peraturan untuk menjamin penggunaannya yang sah (ay. 10-17).

Ayat-ayat pembukaan bagian ini melukiskan prosedur hukum di dalam kasus di mana hukuman tidak dapat dikenakan, sebab terdakwanya tidak dikenal (ay. 1-9).

Ketetapan-ketetapan itu dibuat sedemikian rupa untuk lebih jauh menunjukkan orientasi semua pemerintahan teokratis pada tempat ibadah.

Demikian pula peraturan penutup menandaskan agar hukum seremonial keagamaan dihormati di dalam memberlakukan hukum kejahatan (ay. 22-23).

Mezbah dan ruang sidang teokratis merupakan dua manifestasi dari keadilan Raja teokrasi, yaitu Pribadi kudus yang memilih Israel sebagai tempat tinggal-Nya.

Batas-batas kewenangan suami (21:10-14).

Tiga peraturan pertama yang berkenaan dengan kewenangan dari seorang kepala rumah tangga (bdg. ay. 15-21) membahas batas-batas kewenangan suami atas istrinya.

Kasus perempuan yang merupakan tawanan perang (bdg. 10-11, bdg. 20:14, kontraskan dengan 7:3) dipakai sebagai contoh soal untuk meresmikan hak-hak seorang istri, mungkin karena prinsip ini jelas pasti akan berlaku bagi seorang istri Israel.

Mengenai tindakan-tindakan pentahiran di ayat 12b-13a yang menandakan pembuangan status budak tawanan perang, bandingkan Imamat 14:8, Bilangan 8:7.

Tentang masa ratapan sebulan lihat Bilangan 20:29 dan Ulangan 34:8. Periode ini akan memberikan ketenangan batiniah, sehingga memungkinkan suatu kehidupan yang baru, dan juga untuk menumbuhkan kesalehan bersama.

14. Tidak boleh sekali-kali engkau menjual dia. Seorang suami dilarang keras untuk menurunkan kembali derajat istrinya menjadi budak.

Sekalipun ilustrasi dari istri hasil tawanan perang ini khas Kitab Ulangan, prinsip yang sama sebenarnya juga diutarakan di dalam Kitab Perjanjian, di mana yang dipakai sebagai contoh soal adalah seorang budak perawan (Kel. 21:7-11).

Maka haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya. Putusnya hubungan pernikahan di sini hanya merupakan unsur sampingan, sebab yang terutama dikemukakan ialah, bahwa seorang suami sama sekali tidak mempunyai hak untuk menurunkan derajat istrinya untuk menjadi budak.

Putusnya hubungan pernikahan juga harus dilaksanakan menurut prosedur hukum perceraian di dalam teokrasi (bdg. 24:1-4).

Yang diperintahkan bukanlah perceraiannya, tetapi pemberian kebebasan, jika sang suami berkeputusan untuk menceraikan istrinya sesuai dengan peluang yang disediakan oleh Musa, karena kekerasan hati kedua belah pihak (bdg. Mat. 19:8 dalam perikop Perceraian).

Perikop Selanjutnya: Hak Kesulungan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel